Rabu, 25 Juli 2012

Pisang Ijo, Makanan Favorit Berbuka di Makassar

Setiap daerah, memiliki menu khas saat berbuka puasa, begitu juga dengan Makassar, Sulawesi Selatan. Seperti umat Islam di daerah lainnya, di Makassar pun umat Islam biasanya senang berburu menu buka puas, salah satunya Pisang Ijo.

Pilihan Pisang Ijo, karena rasanya yang manis dan gurih. Disebut Pisang Ijo karena Pisang yang menjadi bahan utamanya dibalut dengan adonan berwarna hijau.

Cara membuatnya sederhana saja. Bahan yang digunakan juga tidak terlalu rumit. Cukup dengan gula, tepung beras, santan kelapa, daun pandan serta pisang raja yang telah dikukus.

Pembuatan Pisang Ijo dimulai dengan membuat adonan pembungkus pisang yang berwarna hijau. Warna hijau diperoleh dari daun pandan. Pembuatan adonan Pisang dimulai dengan mencampurkan daun pandan dengan santan kelapa yang telah dididihkan untuk kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender.

Hasilnya akan disaring untuk diambil airnya. Air hasil penyaringan, kemudian dimasukkan secara perlahan ke dalam campuran tepung beras dengan gula hingga membentuk adonan. Hasil adonan, kemudian dikukus, hingga padat. Hasil adonan inilah yang digunakan untuk membungkus pisang.

Setelah pembungkus pisang selesai, langkah selanjutnya adalah membuat saus Pisang Ijo. Saus Pisang Ijo dibuat dari campuran tepung gula dan sedikit garam. Hasil campuran, kemudian dituangkan ke dalam santan kelapa yang telah dipanaskan sebelumnya. Hasil campuran ini dimasak sampai mendidih hingga menjadi saus Pisang Ijo.

Makanan ini bisa disajikan hangat maupun dingin. Agar lebih enak bisa ditambah sirup dan es serut, pasti rasanya lebih enak.

Resep :
Bahan yang diperlukan untuk membuat Es Pisang Ijo :
  • 1/2 tetes pewarna hijau
  • 50 g tepung sagu
  • 175 g tepung beras, ayak
  • 1/2 sdt garam
  • 100 ml air daun suji
  • 6 buah pisang raja matang
  • 300 ml air
Sedangkan untuk buburnya, bahan dari resep ini adalah
Bubur:
  • 800 ml santan dari 1 butir kelapa parut
  • 50 g tepung beras
  • 75 g gula pasir
  • 1 lembar daun pandan, simpulkan
  • 1/4 sdt garam
Bahan Pelengkap untuk resep pisang ijo :
  • Es Serut
  • 100 ml sirop cocopandan, siap pakai
  • 100 ml susu kental manis
CARA MEMBUAT:
  1. Campurkan tepung beras, garam, air, air daun suji, dan pewarna hijau, aduk rata. Jerang di atas api kecil hingga mendidih sambil aduk-aduk agar adonan tidak berbutir. Angkat.
  2. Masukkan tepung sagu sedikit demi sedikit sambil aduk-aduk hingga kalis. Bagi adonan menjadi 6 bagian. Bulatkan dan tipiskan hingga 1/2 cm.
  3. Balut setiap pisang dengan adonan tepung beras hingga semua bagian tertutup rata.
  4. Rebus pisang dalam air mendidih hingga mengapung dan adonan matang. Angkat. Tiriskan. Sisihkan.
  5. Bubur: Campurkan santan, tepung terigu, gula pasir, daun pandan dan garam, aduk rata. Jerang di atas api sedang sambil aduk-aduk hingga kental. Angkat.
  6. Penyajian: Potong-potong pisang ijo. Letakkan di atas piring saji. Tuangkan bubur. Tambahkan es serut, sirop, dan susu kental manis.
  7. Sajikan segera.
Es pisang ijo diatas akan menghasilkan 6 porsi dengan kandungan kalori  Kalori per porsi 397. Begitulah resep untuk membuat es yang yami ini. Gampang kan!!! Silahkan anda coba!

Source :

Sabtu, 21 Juli 2012

Kapal Phinisi : Kebanggaan Bugis di mata Internasional

Phinisi adalah kapal layar tradisional khas asal Indonesia, yang berasal dari Suku Bugis danSuku Makassar di Sulawesi Selatan. Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang; umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau. Phinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar dengan dua tiang dengan tujuh helai layar yang mempunyai makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengharungi tujuh samudera besar di dunia

Sejarah

Kapal kayu Phinisi telah digunakan di Indonesia sejak beberapa abad yang lalu, diperkirakan kapal pinisi sudah ada sebelum tahun 1500an. Menurut naskah Lontarak I Babad La Lagaligo pada abad ke 14, Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, Putera Mahkota Kerajaan Luwu untuk berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai.
Sawerigading berhasil ke negeri Tiongkok dan memperisteri Puteri We Cudai. Setelah beberapa lama tinggal di negeri Tiongkok, Sawerigading kembali kekampung halamannya dengan menggunakan Pinisinya ke Luwu. Menjelang masuk perairan Luwu kapal diterjang gelombang besar dan Pinisi terbelah tiga yang terdampar di desa Ara, Tanah Beru dan Lemo-lemo. Masyarakat ketiga desa tersebut kemudian merakit pecahan kapal tersebut menjadi perahu yang kemudian dinamakan Pinisi.

Ritual pembangunan Pinisi

Para pengrajin harus menghitung hari baik untuk memulai pencarian kayu sebagai bahan baku. Biasanya jatuh pada hari ke lima dan ketujuh pada bulan yang berjalan. Angka 5 (naparilimai dalle'na) yang artinya rezeki sudah di tangan. Sedangkan angka 7 (natujuangngi dalle'na) berarti selalu dapat rezeki. Setelah dapat hari baik, lalu kepala tukang yang disebut "punggawa" memimpin pencarian.
Pada saat peletakan lunas, juga harus disertai prosesi khusus. Saat dilakukan pemotongan, lunas diletakkan menghadap Timur Laut. Balok lunas bagian depan merupakan simbol lelaki. Sedang balok lunas bagian belakang diartikan sebagai simbol wanita. Usai dimantrai, bagian yang akan dipotong ditandai dengan pahat. Pemotongan yang dilakukan dengan gergaji harus dilakukan sekaligus tanpa boleh berhenti. Itu sebabnya untuk melakukan pemotongan harus dikerjakan oleh orang yang bertenaga kuat. Demikian selanjutnya setiap tahapan selalu melalui ritual tertentu.

Jenis kapal pinisi

Ada dua jenis kapal pinisi
  1. Lamba atau lambo. Phinisi modern yang masih bertahan sampai saat ini dan sekarang dilengkapi dengan motor diesel (PLM).
  2. Palari. adalah bentuk awal phinisi dengan lunas yang melengkung dan ukurannya lebih kecil dari jenis Lamba.



Tradisi Suro' Baca

Suro'baca atau berdoa bersama untuk para leluhur menjelang Ramadhan merupakan tradisi turun-temurun di kalangan suku Bugis Makassar di Sulawesi Selatan (Sulsel).Acara tradisi ini biasanya dilakukan mulai sepekan hingga satu hari sebelum bulan suci Ramadhan (H-7 sampai H-1 Ramadhan).

Tradisi yang masih tetap terjaga baik di kalangan masyarakat pedesaan hingga perkotaan ini, biasanya diselenggarakan baik per rumah tangga ataupun berkelompok.Sebelum menggelar suro'baca, keluarga mempersiapkan aneka hidangan atau masakan seperti ayam gagape' (mirip opor ayam), ikan bandeng bakar yang dibelah dan diberi cabe dan garam yang sudah dihaluskan, lawa' (urap) dari pisang batu, dan sebagainya sesuai dengan kemampuan ekonomi si empunya hajatan.Untuk kue pencuci mulutnya, dipilih kue-kue tradisional misalnya kue lapis, onde-onde, dan cucuru' bayao.

Setelah semua hidangan tersebut siap disantap, terlebih dahulu diatur sedemikian rupa di ruangan yang disiapkan untuk membaca doa bersama yang dipimpin oleh seorang guru baca atau tokoh adat.Seluruh anggota keluarga akan duduk bersila di depan aneka hidangan sambil mengikuti guru baca berdoa dengan membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an serta mendoakan bagi almarhum (leluhur) mendapat keselamatan di akhirat dan keluarga yang ditinggalkan juga mendapatkan keselamatan, kesehatan dan dimudahkan rezekinya.

Prosesi serupa juga dilakukan jika suro'baca dilakukan berkelompok, artinya satu orang sebagai koordinator yang mengumpulkan pendanaan komsumsi, kemudian bersama-sama dengan anggota keluarga besar membuat aneka hidangan yang akan disajikan pada acara suro'baca pada bulan Sya'ban itu.Setelah semuanya siap, maka semua anggota keluarga besar berdoa bersama dipimpin guru baca. Selanjutnya, bersalam-salaman seraya saling memaafkan sebelum memasuki bulan Ramadhan, kemudian besantap siang bersama.

"Makna dari suro'baca ini, agar yang masih hidup tetap mengingat leluhurnya dan mengingat bahwa suatu saat juga akan ke akhirat. Selain itu, acara ini juga menjadi ajang silaturrahim untuk mempererat persaudaraan," jelas Daeng Mappong (75), guru baca yang sudah sepuluh tahun lebih memimpin tradisi suro'baca setiap menjelang Ramadhan di lingkungan suku Bugis Makassar di Kabupaten Maros, Sulsel.

Sementara Daeng Ngalusu (63) yang berperan sebagai bendahara tradisi itu mengatakan, setiap keluarga akan memberikan uang komsumsi sesuai dengan kemampuan dan keikhlasannya. Jadi tidak ditentukan besarannya. Bahkan yang tidak memiliki uang lebih, namun memiliki ternak ayam, biasanya menyumbang beberapa ekor ayam saja. Begitu pula yang berprofesi sebagai petani biasanya memberikan beberapa liter beras untuk berpartisipasi.

Tradisi lain yang mengikuti acara suro'baca ini, bagi kalangan Bugis Makassar yang masih memegang filosofi adat dan tarekattradisional terkait dengan Agama Islam, juga memanfaatkan bulan Sya'ban atau menjelang Ramadhan untuk mengajak putra-putrinya yang sudah akil balik memahami dan mendalami ajaran Islam lebih dekat.Guru tarekat yang sebagian besar adalah penganut tarekat Khalwatiah Syekh Jusuf -- salah seorang penyebar Agama Islam dan pahlawan nasional -- di Sulsel, akan menjadi penuntun bagi putra-putri Bugis Makassar mempelajari mulai tata cara berwudhu, shalat hingga mempersiapkan diri mencari bekal ke alam akhirat.

Begitu pula ziarah kubur menjelang Ramadhan, seakan sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat Sulsel yang masih kental dengan tradisinya.Ketiga tradisi itulah yang masih dapat dijumpai di kalangan keluarga Bugis Makassar di Sulsel yang berpenduduk sekitar tujuh juta jiwa. Suatu tradisi yang memiliki makna yang mendalam yang intinya memupuk rasa kebersamaan, mengingat kematian dan mengajak berbuat kebajikan.
 
Source : Klik disini

Lebaran Bugis di Kampung Toraja

Berlebaran Idul Adha memang tidak semeriah lebaran Idul Fitri, tapi di tanah Bugis lebaran Idul Adha punya kesan tersendiri. Dalam strata sosial di Bugis Makassar gelar haji punya kedudukan yang penting, seorang bertitel haji mendapat perlakuan khusus di setiap acara perjamuan,kursinya paling depan, namanya sering dibangga-banggakan dan petuahnya menggetarkan penduduk kampung. Maka jangan heran jika dalam setiap lebaran haji suasananya tidak berbeda jauh dengan lebaran Idul fitri.
Saya masih ingat ketika tinggal di kos-kosan, setiap mendekati lebaran haji suasana kos berubah sepi yang tinggal hanya mereka yang berasal dari luar Bugis Makassar. Bagi teman yang berasal dari luar Sulawesi Selatan lebaran haji bukanlah suatu yang wajib untuk pulang kampung, sebaliknya bagi orang Bugis Makassar tradisi pulang kampung saat lebaran haji merupakan hal yang wajib. Sampai disitu teman saya keheranan.
Bukan esensi korban hewan yang mendorong orang pulang kampung tapi lebih dari itu kembali kepada tradisi orang Bugis Makassar yang memandang haji merupakan suatu yang sacral. Kerinduan  untuk mengunjungi Baitullah selalu bersemi di hati orang Bugis Makassar, lebih parahnya bagi yang rindu namu tidak mampu secara ekonomis memilih melakukan ritual sesat berhaji di puncak gunung Bawakaraeng, yang melakukan ritual ini hanya segelintir orang namun selalu saja ada tiap tahunnya.
Berhaji di puncak Bawakaraeng dianggap sama dengan berhaji di Baitullah, entah siapa yang pertama kali memulainya. Biasanya calon haji Bawakaraeng tidak pergi sendirian mereka pergi bersama hewan ternak yang akan di korbankan, kadang karena cuaca ekstrem justru calon haji jadi korban bersama hewan korbannya di amuk badai, korban pun berjatuhan tapi semangat berhaji di sana tetap ada. Sering kali kami memakai istilah haji Bawakaraeng kepada seorang yang gila hormat ingin di akui sebagai Haji tapi belum pernah mengunjungi padang Arafah. Jadilah dia kami sebut haji Bawakaraeng.
————————- *******————————–
Lain lagi di kampung saya di tanah Luwu, berbeda dengan kebanyakan daerah di Sulsel yang didominasi suku Bugis, kami yang tinggal di bawah kaki Gunung Latimojong lebih pas di sebut etnis Toraja. Mengapa saya menyebutnya lebih pas di sebut etnis Toraja ?? ini karena ada kebiasaan umum dari kami di KTP sengaja menulis suku Bugis di KTP kami, padahal bahasa kami lebih dekat 90% dengan bahasa asli Toraja. Bugis selalu di identikkan dengan Islam dan Toraja selalu disebut Kristen, jadilah di KTP kami menulis suku Bugis karena kami Muslim, memang aneh.Saya tidak ingin menjelaskan panjang lebar tentang ikhwal suku ini (Insya Allah di tulisan lain saya bagi pengalaman tentang ini), yang ingin saya sampaikan bahwa tradisi lebaran Idul Adha di kampung Toraja menjadi meriah dengan banyaknya berdatangan imigran Bugis.
Ikhwal kedatangan orang Bugis adalah membuka perkebunan kakao. Suasana lebarannya tidak jauh berbeda dengan lebaran Idul Fitri, saya ingat ketika kecil saat takbir berkumandang agung, kami ke lapangan untuk shalat Idul Adha berbaur bersama dengan orang Bugis, selepas pulang kami melintas di pemukiman suku Bugis. Orang-orang Bugis punya tradisi memanggil setiap orang yang pulang shalat untuk singgah menikmati hidangan lebaran dari mereka, bayangkan setiap rumah melakukan hal yang sama kalau kami tidak pandai-pandai memilih rumah pastinya kami tidak mampu berjalan pulang karena kekenyangan. Di rumah orang Bugis biasanya telah tersedia nasi ketan tiga rupa/tiga warna, sebelum dihidangkan konon makanan itu di bacakan doa-doa khusus, ini tradisi lama yang ada sebelum masuknya Islam.
Bukan hanya makanan yang berbeda hari itu, suasana kampung juga berbeda, beberapa hari sebelum lebaran pagar-pagar rumah di rapikan dan dipercantik, rumah di bersihkan bahkan tidak jarang umbul-umbul di kibarkan di depan rumah. Karena kemeriahannya saya menyebut lebaran Idul Adha dengan lebaran Bugis. Sedangkan bagi orang Luwu lebaran haji memang “kelasnya” di bawah lebaran Idul Fitri. Dengan orang Bugis kami hidup rukun berdampingan, perbedaan bahasa bukan halangan persatuan. Sayangnya tradisi ini sudah mulai memudar dengan sudah jarangnya orang Bugis di kampung kami, sejak tragedi  SARA beberapa tahun lalu banyak orang Bugis memilih balik ke kampung mereka di Soppeng juga telah banyak orang Bugis yang berasimilasi dengan penduduk asli.
Sejak kuliah saya sulit lagi menjumpai keramahan dan kemurahan hati orang Bugis yang memanggil kami kerumahnya. Tradisi ini seperti lenyap di telan bumi, pulang bersama kembalinya orang-orang Bugis di kampung mereka di tanah Soppeng.
Dan kemarin saya berlebaran di salah satu daerah Bugis yaitu di kabupaten Barru. Saya justru tidak merasakan greget lebaran Bugis seperti dulu, suasananya biasa-biasa saja yang berbeda bahwa tradisi mudik saat lebaran Bugis masih tetap lestari. Bayangkan dua hari jelang lebaran, di pinggiran kota Makassar macet gara-garanya para pemudik antri menunggu tumpangan mobil ke daerah masing-masing, antrean lumayan panjang sampai 5 kilometer. Kembali ke suasana lebaran di kampung Bugis di Barru justru tidak semeriah lebaran Bugis di kampung Toraja. Mungkin karena telah terjadi pergeseran tradisi, atau bisa jadi karena tradisi Bugis Barru tempat saya sekarang memang berbeda dengan Bugis Soppeng asal para perantau Bugis di kampung Toraja.
Lebaran Bugis di kampung Toraja selalu dalam kenangan, simbol persatuan dua suku yang masih serumpun bersaudara, mengikat perbedaan dan saling menghargai masing-masing tradisi. Inilah satu sisi Indonesia yang majemuk yang mampu menggetarkan hati.