Pembantaian Westerling adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan Belanda Depot Speciale Troepen pimpinan Raymond Pierre Paul Westerling. Peristiwa ini terjadi pada bulan Desember 1946-Februari 1947 selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).
Latar belakang
Sementara Perjanjian Linggarjati
sedang berlangsung, di daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera, tetap
terjadi perlawanan sengit dari rakyat setempat. Walaupun banyak pemimpin
mereka ditangkap, dibuang dan bahkan dibunuh, perlawanan rakyat di
Sulawesi Selatan tidak kunjung padam. Hampir setiap malam terjadi
serangan dan penembakan terhadap pos-pos pertahanan tentara Belanda.
Para pejabat Belanda sudah sangat kewalahan, karena tentara KNIL
yang sejak bulan Juli menggantikan tentara Australia, tidak sanggup
mengatasi gencarnya serangan-serangan pendukung Republik. Mereka
menyampaikan kepada pimpinan militer Belanda di Jakarta, bahwa apabila perlawanan bersenjata pendukung Republik tidak dapat diatasi, mereka harus melepaskan Sulawesi Selatan.
Maka pada 9 November 1946, Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor dan Kepala Stafnya, Mayor Jenderal Dirk Cornelis Buurman van Vreeden
memanggil seluruh pimpinan pemerintahan Belanda di Sulawesi Selatan ke
markas besar tentara di Jakarta. Diputuskan untuk mengirim pasukan
khusus dari DST pimpinan Raymond Westerling
untuk menghancurkan kekuatan bersenjata Republik serta mematahkan
semangat rakyat yang mendukung Republik Indonesia. Westerling diberi
kekuasaan penuh untuk melaksanakan tugasnya dan mengambil
langkah-langkah yang dipandang perlu.
Pada tanggal 15 November 1946, Letnan I Vermeulen memimpin rombongan yang terdiri dari 20 orang pasukan dari Depot Pasukan Khusus (DST) menuju Makassar. Sebelumnya, NEFIS
telah mendirikan markasnya di Makassar. Pasukan khusus tersebut
diperbantukan ke garnisun pasukan KNIL yang telah terbentuk sejak bulan Oktober
1945. Anggota DST segera memulai tugas intelnya untuk melacak
keberadaan pimpinan perjuangan Republik serta para pendukung mereka.
Westerling sendiri baru tiba di Makassar pada tanggal 5 Desember 1946, memimpin 120 orang Pasukan Khusus dari DST. Dia mendirikan markasnya di Mattoangin. Di sini dia menyusun strategi untuk Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan) dengan caranya sendiri, dan tidak berpegang pada Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger
- VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik
dan Polisional), di mana telah ada ketentuan mengenai tugas intelijen
serta perlakuan terhadap penduduk dan tahanan. Suatu buku pedoman resmi
untuk Counter Insurgency.
Operasi militer
Tahap pertama
Aksi pertama operasi Pasukan Khusus DST dimulai pada malam tanggal 11 menjelang 12 Desember.
Sasarannya adalah desa Batua serta beberapa desa kecil di sebelah timur
Makassar dan Westerling sendiri yang memimpin operasi itu. Pasukan
pertama berkekuatan 58 orang dipimpin oleh Sersan Mayor H. Dolkens
menyerbu Borong dan pasukan kedua dipimpin oleh Sersan Mayor Instruktur J. Wolff beroperasi di Batua
dan Patunorang. Westerling sendiri bersama Sersan Mayor Instruktur W.
Uittenbogaard dibantu oleh dua ordonan, satu operator radio serta 10
orang staf menunggu di desa Batua.
Pada fase pertama, pukul 4 pagi wilayah itu dikepung dan seiring
dengan sinyal lampu pukul 5.45 dimulai penggeledahan di rumah-rumah
penduduk. Semua rakyat digiring ke desa Batua. Pada fase ini, 9 orang
yang berusaha melarikan diri langsung ditembak mati. Setelah berjalan
kaki beberapa kilometer, sekitar pukul 8.45 seluruh rakyat dari
desa-desa yang digeledah telah terkumpul di desa Batua. Tidak diketahui
berapa jumlahnya secara tepat. Westerling melaporkan bahwa jumlahnya
antara 3.000 sampai 4.000 orang yang kemudian perempuan dan anak-anak
dipisahkan dari pria.
Fase kedua dimulai, yaitu mencari "kaum ekstremis, perampok, penjahat
dan pembunuh". Westerling sendiri yang memimpin aksi ini dan berbicara
kepada rakyat, yang diterjemahkan ke bahasa Bugis.
Dia memiliki daftar nama "pemberontak" yang telah disusun oleh
Vermeulen. Kepala adat dan kepala desa harus membantunya
mengidentifikasi nama-nama tersebut. Hasilnya adalah 35 orang yang
dituduh langsung dieksekusi di tempat. Metode Westerling ini dikenal
dengan nama "Standrecht" – pengadilan (dan eksekusi) di tempat.
Dalam laporannya Westerling menyebutkan bahwa yang telah dihukum adalah
11 ekstremis, 23 perampok dan seorang pembunuh.
Fase ketiga adalah ancaman kepada rakyat untuk tindakan di masa
depan, penggantian Kepala desa serta pembentukan polisi desa yang harus
melindungi desa dari anasir-anasir "pemberontak, teroris dan perampok".
Setelah itu rakyat disuruh pulang ke desa masing-masing. Operasi yang
berlangsung dari pukul 4 hingga pukul 12.30 telah mengakibatkan tewasnya
44 rakyat desa.
Demikianlah "sweeping ala Westerling". Dengan pola yang sama,
operasi pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan berjalan terus.
Westerling juga memimpin sendiri operasi di desa Tanjung Bunga pada
malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946. 61 orang ditembak mati.
Selain itu beberapa kampung kecil di sekitar desa Tanjung Bunga dibakar,
sehingga korban tewas seluruhnya mencapai 81 orang.
Berikutnya pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember, tiba giliran Kalukuang yang terletak di pinggiran kota Makassar, 23 orang rakyat ditembak mati. Menurut laporan intelijen mereka, Wolter Monginsidi dan Ali Malakka
yang diburu oleh tentara Belanda berada di wilayah ini, namun mereka
tidak dapat ditemukan. Pada malam tanggal 16 menjelang tanggal 17 Desember, desa Jongaya yang terletak di sebelah tenggara Makassar menjadi sasaran. Di sini 33 orang dieksekusi.
Tahap kedua
Setelah daerah sekitar Makassar dibersihkan, aksi tahap kedua dimulai tanggal 19 Desember 1946.
Sasarannya adalah Polobangkeng yang terletak di selatan Makassar di
mana menurut laporan intelijen Belanda, terdapat sekitar 150 orang
pasukan TNI serta sekitar 100 orang anggota laskar bersenjata. Dalam
penyerangan ini, Pasukan DST menyerbu bersama 11 peleton tentara KNIL
dari Pasukan Infanteri XVII. Penyerbuan ini dipimpin oleh Letkol KNIL
Veenendaal. Satu pasukan DST di bawah pimpinan Vermeulen menyerbu desa
Renaja dan Ko'mara.
Pasukan lain mengurung Polobangkeng. Selanjutnya pola yang sama seperti
pada gelombang pertama diterapkan oleh Westerling. Dalam operasi ini
330 orang rakyat tewas dibunuh.
Tahap ketiga
Aksi tahap ketiga mulai dilancarkan pada 26 Desember 1946 terhadap Gowa dan dilakukan dalam tiga gelombang, yaitu tanggal 26 dan 29 Desember serta 3 Januari 1947.
Di sini juga dilakukan kerjasama antara Pasukan Khusus DST dengan
pasukan KNIL. Korban tewas di kalangan penduduk berjumlah 257 orang.
Pemberlakuan keadaan darurat
Untuk lebih memberikan keleluasaan bagi Westerling, pada 6 Januari 1947 Jenderal Simon Spoor memberlakukan noodtoestand
(keadaan darurat) untuk wilayah Sulawesi Selatan. Pembantaian rakyat
dengan pola seperti yang telah dipraktekkan oleh pasukan khusus berjalan
terus dan di banyak tempat, Westerling tidak hanya memimpin operasi,
melainkan ikut menembak mati rakyat yang dituduh sebagai teroris,
perampok atau pembunuh.
Pertengahan Januari 1947 sasarannya adalah pasar di Parepare dan dilanjutkan di Madello, Abbokongeng, Padakkalawa, satu desa tak dikenal, Enrekang, Talabangi, Soppeng, Barru, Malimpung, dan Suppa.
Setelah itu, masih ada beberapa desa dan wilayah yang menjadi sasaran
Pasukan Khusus DST tersebut, yaitu pada tanggal 7 dan 14 Februari di
pesisir Tanete, pada tanggal 16 dan 17 Februari di desa Taraweang
dan Bornong-Bornong. Kemudian juga di Mandar, di mana 364 orang
penduduk tewas dibunuh. Pembantaian para "ekstremis" bereskalasi di Kulo, Amparita dan Maroangin di mana 171 penduduk dibunuh tanpa sedikit pun dikemukakan bukti kesalahan mereka atau alasan pembunuhan.
Selain itu, di aksi-aksi terakhir, tidak seluruhnya "teroris,
perampok dan pembunuh" yang dibantai berdasarkan daftar yang mereka
peroleh dari dinas intel, melainkan secara sembarangan orang-orang yang
sebelumnya ada di tahanan atau penjara karena berbagai sebab, dibawa ke
luar dan dikumpulkan bersama terdakwa lain untuk kemudian dibunuh.
H.C. Kavelaar, seorang wajib militer KNIL, adalah saksi mata
pembantaian di alun-alun di Tanete, di mana sekitar 10 atau 15 penduduk
dibunuh. Dia menyaksikan, bagaimana Westerling sendiri menembak mati
beberapa orang dengan pistolnya, sedangkan lainnya diberondong oleh
peleton DST dengan sten gun.
Di semua tempat, pengumpulan data mengenai orang-orang yang mendukung
Republik, intel Belanda selalu dibantu oleh pribumi yang rela demi uang
dan kedudukan. Pada aksi di Gowa, Belanda dibantu oleh seorang kepala
desa, Hamzah, yang tetap setia kepada Belanda.
Peristiwa Galung Lombok
Peristiwa maut di Galung Lombok terjadi pada tanggal 2 Februari
1947. Ini adalah peristiwa pembantaian Westerling, yang telah menelan
korban jiwa terbesar di antara semua korban yang jatuh di daerah lain
sebelumnya. Pada peristiwa itu, M. Joesoef Pabitjara Baroe (anggota
Dewan Penasihat PRI)
bersama dengan H. Ma'roef Imam Baroega, Soelaiman Kapala Baroega,
Daaming Kapala Segeri, H. Nuhung Imam Segeri, H. Sanoesi, H. Dunda, H.
Hadang, Muhamad Saleh, Sofyan, dan lain-lain, direbahkan di ujung
bayonet dan menjadi sasaran peluru. Setelah itu, barulah menyusul adanya
pembantaian serentak terhadap orang-orang yang tak berdosa yang turut
digiring ke tempat tersebut.
Semua itu belum termasuk korban yang dibantai habis di tempat lain, seperti Abdul Jalil Daenan Salahuddin (kadi Sendana),
Tambaru Pabicara Banggae, Atjo Benya Pabicara Pangali-ali, ketiganya
anggota Dewan Penasihat PRI, Baharuddin Kapala Bianga (Ketua Majelis
Pertahanan PRI), Dahlan Tjadang (Ketua Majelis Urusan Rumah Tangga PRI),
dan masih banyak lagi. Ada pula yang diambil dari tangsi Majene waktu
itu dan dibawa ke Galung Lombok lalu diakhiri hidupnya.
Sepuluh hari setelah terjadinya peristiwa yang lazim disebut
Peristiwa Galung Lombok itu, menyusul penyergapan terhadap delapan orang
pria dan wanita, yaitu Andi Tonra (Ketua Umum PRI), A. Zawawi Yahya
(Ketua Majelis Pendidikan PRI), Abdul Wahab Anas (Ketua Majelis Politik
PRI), Abdul Rasyid Sulaiman (pegawai kejaksaan pro-RI), Anas (ayah
kandung Abdul Wahab), Nur Daeng Pabeta (kepala Jawatan Perdagangan Dalam
Negeri), Soeradi (anggota Dewan Pimpinan Pusat PRI), dan tujuh hari
kemudian ditahan pula Ibu Siti Djohrah Halim (pimpinan Aisyah dan Muhammadiyah Cabang Mandar), yang pada masa PRI menjadi Ketua Majelis Kewanitaan.
Dua di antara mereka yang disiksa adalah Andi Tonran dan Abdul Wahab
Anas. Sedangkan Soeradi tidak digiring ke tiang gantungan, melainkan
disiksa secara bergantian oleh lima orang NICA, sampai menghebuskan napas terakhir di bawah saksi mata Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas.
Pasca operasi militer
Jenderal Spoor menilai bahwa keadaan darurat di Sulawesi Selatan telah dapat diatasi, maka dia menyatakan mulai 21 Februari 1947 diberlakukan kembali Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), dan Pasukan DST ditarik kembali ke Jawa.
Dengan keberhasilan menumpas para ekstrimis, di kalangan Belanda baik
militer mau pun sipil reputasi Pasukan Khusus DST dan komandannya,
Westerling melambung tinggi. Media massa Belanda memberitakan secara
superlatif. Ketika pasukan DST tiba kembali ke Markas DST pada 23 Maret
1947, mingguan militer Het Militair Weekblad menyanjung dengan berita:
"Pasukan si Turki kembali." Berita pers Belanda sendiri yang kritis
mengenai pembantaian di Sulawesi Selatan baru muncul untuk pertama kali
pada bulan Juli 1947.
Kamp DST kemudian dipindahkan ke Kalibata, dan setelah itu, karena dianggap sudah terlalu sempit, selanjutnya dipindahkan ke Batujajar dekat Cimahi.
Pada bulan Oktober 1947 dilakukan reorganisasi di tubuh DST dan
komposisi Pasukan Khusus tersebut kemudian terdiri dari 2 perwira dari
KNIL, 3 perwira dari KL (Koninklijke Leger), 24 bintara KNIL, 13 bintara
KL, 245 serdadu KNIL dan 59 serdadu KL. Pada tanggal 5 Januari 1948, nama DST diubah menjadi Korps Speciale Troepen – KST (Korps Pasukan Khusus) dan kemudian juga memiliki unit parasutis. Westerling memegang komando pasukan yang lebih besar dan lebih hebat dan pangkatnya menjadi Kapten.
Korban
Berapa ribu rakyat Sulawesi Selatan yang menjadi korban keganasan
tentara Belanda hingga kini tidak jelas. Tahun 1947, delegasi Republik
Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB,
korban pembantaian terhadap penduduk, yang dilakukan oleh Kapten
Raymond Westerling sejak bulan Desember 1946 di Sulawesi Selatan
mencapai 40.000 jiwa.
Pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969
memperkirakan sekitar 3.000 rakyat Sulawesi tewas dibantai oleh Pasukan
Khusus pimpinan Westerling, sedangkan Westerling sendiri mengatakan,
bahwa korban akibat aksi yang dilakukan oleh pasukannya "hanya" 600
orang.
Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari
tuntutan pelanggaran HAM Pengadilan Belanda karena sebenarnya aksi
terornya yang dinamakan contra-guerilla, memperoleh izin dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr. Hubertus Johannes van Mook. Jadi yang sebenarnya bertanggungjawab atas pembantaian rakyat Sulawesi Selatan adalah Pemerintah dan Angkatan Perang Belanda.
Pembantaian tentara Belanda di Sulawesi Selatan ini dapat dimasukkan
ke dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity),
yang hingga sekarangpun dapat dimajukan ke pengadilan internasional,
karena untuk pembantaian etnis (Genocide) dan crimes against humanity,
tidak ada kadaluarsanya. Perlu diupayakan, peristiwa pembantaian ini
dimajukan ke International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar