Berlebaran Idul Adha memang tidak semeriah lebaran Idul Fitri, tapi
di tanah Bugis lebaran Idul Adha punya kesan tersendiri. Dalam strata
sosial di Bugis Makassar gelar haji punya kedudukan yang penting,
seorang bertitel haji mendapat perlakuan khusus di setiap acara
perjamuan,kursinya paling depan, namanya sering dibangga-banggakan dan
petuahnya menggetarkan penduduk kampung. Maka jangan heran jika dalam
setiap lebaran haji suasananya tidak berbeda jauh dengan lebaran Idul
fitri.
Saya masih ingat ketika tinggal di kos-kosan, setiap mendekati lebaran
haji suasana kos berubah sepi yang tinggal hanya mereka yang berasal
dari luar Bugis Makassar. Bagi teman yang berasal dari luar Sulawesi
Selatan lebaran haji bukanlah suatu yang wajib untuk pulang kampung,
sebaliknya bagi orang Bugis Makassar tradisi pulang kampung saat lebaran
haji merupakan hal yang wajib. Sampai disitu teman saya keheranan.
Bukan esensi korban hewan yang mendorong orang pulang kampung tapi lebih
dari itu kembali kepada tradisi orang Bugis Makassar yang memandang
haji merupakan suatu yang sacral. Kerinduan untuk mengunjungi Baitullah
selalu bersemi di hati orang Bugis Makassar, lebih parahnya bagi yang
rindu namu tidak mampu secara ekonomis memilih melakukan ritual sesat
berhaji di puncak gunung Bawakaraeng, yang melakukan ritual ini hanya
segelintir orang namun selalu saja ada tiap tahunnya.
Berhaji di puncak Bawakaraeng dianggap sama dengan berhaji di Baitullah,
entah siapa yang pertama kali memulainya. Biasanya calon haji
Bawakaraeng tidak pergi sendirian mereka pergi bersama hewan ternak yang
akan di korbankan, kadang karena cuaca ekstrem justru calon haji jadi
korban bersama hewan korbannya di amuk badai, korban pun berjatuhan tapi
semangat berhaji di sana tetap ada. Sering kali kami memakai istilah
haji Bawakaraeng kepada seorang yang gila hormat ingin di akui sebagai
Haji tapi belum pernah mengunjungi padang Arafah. Jadilah dia kami sebut
haji Bawakaraeng.
————————- *******————————–
Lain lagi di kampung saya di tanah Luwu, berbeda dengan kebanyakan
daerah di Sulsel yang didominasi suku Bugis, kami yang tinggal di bawah
kaki Gunung Latimojong lebih pas di sebut etnis Toraja. Mengapa saya
menyebutnya lebih pas di sebut etnis Toraja ?? ini karena ada kebiasaan
umum dari kami di KTP sengaja menulis suku Bugis di KTP kami, padahal
bahasa kami lebih dekat 90% dengan bahasa asli Toraja. Bugis selalu di
identikkan dengan Islam dan Toraja selalu disebut Kristen, jadilah di
KTP kami menulis suku Bugis karena kami Muslim, memang aneh.Saya tidak
ingin menjelaskan panjang lebar tentang ikhwal suku ini (Insya Allah di
tulisan lain saya bagi pengalaman tentang ini), yang ingin saya
sampaikan bahwa tradisi lebaran Idul Adha di kampung Toraja menjadi
meriah dengan banyaknya berdatangan imigran Bugis.
Ikhwal kedatangan orang Bugis adalah membuka perkebunan kakao. Suasana
lebarannya tidak jauh berbeda dengan lebaran Idul Fitri, saya ingat
ketika kecil saat takbir berkumandang agung, kami ke lapangan untuk
shalat Idul Adha berbaur bersama dengan orang Bugis, selepas pulang kami
melintas di pemukiman suku Bugis. Orang-orang Bugis punya tradisi
memanggil setiap orang yang pulang shalat untuk singgah menikmati
hidangan lebaran dari mereka, bayangkan setiap rumah melakukan hal yang
sama kalau kami tidak pandai-pandai memilih rumah pastinya kami tidak
mampu berjalan pulang karena kekenyangan. Di rumah orang Bugis biasanya
telah tersedia nasi ketan tiga rupa/tiga warna, sebelum dihidangkan
konon makanan itu di bacakan doa-doa khusus, ini tradisi lama yang ada
sebelum masuknya Islam.
Bukan hanya makanan yang berbeda hari itu, suasana kampung juga berbeda,
beberapa hari sebelum lebaran pagar-pagar rumah di rapikan dan
dipercantik, rumah di bersihkan bahkan tidak jarang umbul-umbul di
kibarkan di depan rumah. Karena kemeriahannya saya menyebut lebaran Idul
Adha dengan lebaran Bugis. Sedangkan bagi orang Luwu lebaran haji
memang “kelasnya” di bawah lebaran Idul Fitri. Dengan orang Bugis kami
hidup rukun berdampingan, perbedaan bahasa bukan halangan persatuan.
Sayangnya tradisi ini sudah mulai memudar dengan sudah jarangnya orang
Bugis di kampung kami, sejak tragedi SARA beberapa tahun lalu banyak
orang Bugis memilih balik ke kampung mereka di Soppeng juga telah banyak
orang Bugis yang berasimilasi dengan penduduk asli.
Sejak kuliah saya sulit lagi menjumpai keramahan dan kemurahan hati
orang Bugis yang memanggil kami kerumahnya. Tradisi ini seperti lenyap
di telan bumi, pulang bersama kembalinya orang-orang Bugis di kampung
mereka di tanah Soppeng.
Dan kemarin saya berlebaran di salah satu daerah Bugis yaitu di
kabupaten Barru. Saya justru tidak merasakan greget lebaran Bugis
seperti dulu, suasananya biasa-biasa saja yang berbeda bahwa tradisi
mudik saat lebaran Bugis masih tetap lestari. Bayangkan dua hari jelang
lebaran, di pinggiran kota Makassar macet gara-garanya para pemudik
antri menunggu tumpangan mobil ke daerah masing-masing, antrean lumayan
panjang sampai 5 kilometer. Kembali ke suasana lebaran di kampung Bugis
di Barru justru tidak semeriah lebaran Bugis di kampung Toraja. Mungkin
karena telah terjadi pergeseran tradisi, atau bisa jadi karena tradisi
Bugis Barru tempat saya sekarang memang berbeda dengan Bugis Soppeng
asal para perantau Bugis di kampung Toraja.
Lebaran Bugis di kampung Toraja selalu dalam kenangan, simbol persatuan
dua suku yang masih serumpun bersaudara, mengikat perbedaan dan saling
menghargai masing-masing tradisi. Inilah satu sisi Indonesia yang
majemuk yang mampu menggetarkan hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar