Sabtu, 21 Juli 2012

Lebaran Bugis di Kampung Toraja

Berlebaran Idul Adha memang tidak semeriah lebaran Idul Fitri, tapi di tanah Bugis lebaran Idul Adha punya kesan tersendiri. Dalam strata sosial di Bugis Makassar gelar haji punya kedudukan yang penting, seorang bertitel haji mendapat perlakuan khusus di setiap acara perjamuan,kursinya paling depan, namanya sering dibangga-banggakan dan petuahnya menggetarkan penduduk kampung. Maka jangan heran jika dalam setiap lebaran haji suasananya tidak berbeda jauh dengan lebaran Idul fitri.
Saya masih ingat ketika tinggal di kos-kosan, setiap mendekati lebaran haji suasana kos berubah sepi yang tinggal hanya mereka yang berasal dari luar Bugis Makassar. Bagi teman yang berasal dari luar Sulawesi Selatan lebaran haji bukanlah suatu yang wajib untuk pulang kampung, sebaliknya bagi orang Bugis Makassar tradisi pulang kampung saat lebaran haji merupakan hal yang wajib. Sampai disitu teman saya keheranan.
Bukan esensi korban hewan yang mendorong orang pulang kampung tapi lebih dari itu kembali kepada tradisi orang Bugis Makassar yang memandang haji merupakan suatu yang sacral. Kerinduan  untuk mengunjungi Baitullah selalu bersemi di hati orang Bugis Makassar, lebih parahnya bagi yang rindu namu tidak mampu secara ekonomis memilih melakukan ritual sesat berhaji di puncak gunung Bawakaraeng, yang melakukan ritual ini hanya segelintir orang namun selalu saja ada tiap tahunnya.
Berhaji di puncak Bawakaraeng dianggap sama dengan berhaji di Baitullah, entah siapa yang pertama kali memulainya. Biasanya calon haji Bawakaraeng tidak pergi sendirian mereka pergi bersama hewan ternak yang akan di korbankan, kadang karena cuaca ekstrem justru calon haji jadi korban bersama hewan korbannya di amuk badai, korban pun berjatuhan tapi semangat berhaji di sana tetap ada. Sering kali kami memakai istilah haji Bawakaraeng kepada seorang yang gila hormat ingin di akui sebagai Haji tapi belum pernah mengunjungi padang Arafah. Jadilah dia kami sebut haji Bawakaraeng.
————————- *******————————–
Lain lagi di kampung saya di tanah Luwu, berbeda dengan kebanyakan daerah di Sulsel yang didominasi suku Bugis, kami yang tinggal di bawah kaki Gunung Latimojong lebih pas di sebut etnis Toraja. Mengapa saya menyebutnya lebih pas di sebut etnis Toraja ?? ini karena ada kebiasaan umum dari kami di KTP sengaja menulis suku Bugis di KTP kami, padahal bahasa kami lebih dekat 90% dengan bahasa asli Toraja. Bugis selalu di identikkan dengan Islam dan Toraja selalu disebut Kristen, jadilah di KTP kami menulis suku Bugis karena kami Muslim, memang aneh.Saya tidak ingin menjelaskan panjang lebar tentang ikhwal suku ini (Insya Allah di tulisan lain saya bagi pengalaman tentang ini), yang ingin saya sampaikan bahwa tradisi lebaran Idul Adha di kampung Toraja menjadi meriah dengan banyaknya berdatangan imigran Bugis.
Ikhwal kedatangan orang Bugis adalah membuka perkebunan kakao. Suasana lebarannya tidak jauh berbeda dengan lebaran Idul Fitri, saya ingat ketika kecil saat takbir berkumandang agung, kami ke lapangan untuk shalat Idul Adha berbaur bersama dengan orang Bugis, selepas pulang kami melintas di pemukiman suku Bugis. Orang-orang Bugis punya tradisi memanggil setiap orang yang pulang shalat untuk singgah menikmati hidangan lebaran dari mereka, bayangkan setiap rumah melakukan hal yang sama kalau kami tidak pandai-pandai memilih rumah pastinya kami tidak mampu berjalan pulang karena kekenyangan. Di rumah orang Bugis biasanya telah tersedia nasi ketan tiga rupa/tiga warna, sebelum dihidangkan konon makanan itu di bacakan doa-doa khusus, ini tradisi lama yang ada sebelum masuknya Islam.
Bukan hanya makanan yang berbeda hari itu, suasana kampung juga berbeda, beberapa hari sebelum lebaran pagar-pagar rumah di rapikan dan dipercantik, rumah di bersihkan bahkan tidak jarang umbul-umbul di kibarkan di depan rumah. Karena kemeriahannya saya menyebut lebaran Idul Adha dengan lebaran Bugis. Sedangkan bagi orang Luwu lebaran haji memang “kelasnya” di bawah lebaran Idul Fitri. Dengan orang Bugis kami hidup rukun berdampingan, perbedaan bahasa bukan halangan persatuan. Sayangnya tradisi ini sudah mulai memudar dengan sudah jarangnya orang Bugis di kampung kami, sejak tragedi  SARA beberapa tahun lalu banyak orang Bugis memilih balik ke kampung mereka di Soppeng juga telah banyak orang Bugis yang berasimilasi dengan penduduk asli.
Sejak kuliah saya sulit lagi menjumpai keramahan dan kemurahan hati orang Bugis yang memanggil kami kerumahnya. Tradisi ini seperti lenyap di telan bumi, pulang bersama kembalinya orang-orang Bugis di kampung mereka di tanah Soppeng.
Dan kemarin saya berlebaran di salah satu daerah Bugis yaitu di kabupaten Barru. Saya justru tidak merasakan greget lebaran Bugis seperti dulu, suasananya biasa-biasa saja yang berbeda bahwa tradisi mudik saat lebaran Bugis masih tetap lestari. Bayangkan dua hari jelang lebaran, di pinggiran kota Makassar macet gara-garanya para pemudik antri menunggu tumpangan mobil ke daerah masing-masing, antrean lumayan panjang sampai 5 kilometer. Kembali ke suasana lebaran di kampung Bugis di Barru justru tidak semeriah lebaran Bugis di kampung Toraja. Mungkin karena telah terjadi pergeseran tradisi, atau bisa jadi karena tradisi Bugis Barru tempat saya sekarang memang berbeda dengan Bugis Soppeng asal para perantau Bugis di kampung Toraja.
Lebaran Bugis di kampung Toraja selalu dalam kenangan, simbol persatuan dua suku yang masih serumpun bersaudara, mengikat perbedaan dan saling menghargai masing-masing tradisi. Inilah satu sisi Indonesia yang majemuk yang mampu menggetarkan hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar